Kamis, 15 Januari 2015

mari saling berbagi



Huma Betang Dan Identitas Suku Dayak Kalteng

 


Oleh : Herman Pelangi


 



 


Huma Betang adalah rumah adat masyarakat Kalimantan Tengah. Rumah yang dibangun dengan cara gotong royong  ini berukuran besar dan panjang mencapai 30 – 150 meter , lebarnya antara 10-30 meter , bertiang tinggi antara 3-4 meter dari tanah. Penghuni Huma Betang bisa mencapai seratus bahkan dua ratus jiwa yang merupakan satu keluarga besar dan dipimpin oleh seorang Bakas lewu atau Kepala Suku. Huma Betang dibuat tinggi dengan maksud untuk menghindari dari banjir, serangan musuh, dan juga binatang buas. Lantai dan dindingnya terbuat dari kayu , sedangkan dibagian atap terbuat dari sirap. Kayu yang dipilih untuk membangun Huma Betang ini ialah kayu ulin selain ati rayap , kayu ulin mampu bertahan hingga ratusan tahun. "Huma Betang" adalah dalam bahasa Indonesia disebut "rumah yang Besar". rumah ini di tempati secara turun temurun, dipelihara dan tercipta iklim yang sejuk dalam kehidupan keluarga besar masyarakat Dayak yang hidup di Kalimantan Tengah.


       "Huma Betang" saat ini, tidak lain adalah wilayah daerah kalimantan Tengah yang bisa hidup apakah penduduk asli ataupun pendatang. dengan kerukunan yang kuat dan kekeluargaan.


 


Karakteristik


Bertolak dari beberapa pengertian masyarakat madani yang telah disampaikan di atas, maka karakteristik yang menonjol pada masyarakat madani menurut: Iyane Bone (2012) adalah:”...masyarakat madani merupakan istilah yang dipakai untuk mengkonseptualisasikan sebuah masyarakat ideal yang dicita-citakan. Istilah itu diterjemahkan dari bahasa Arab “Mujtama’ madani” yang diperkenalkan kali pertama oleh Naquib al-Attas, guru besar sejarah dan peradaban yang juga filosof kontemporer dari Malaysia tentang Masyarakat Madani…”.


Tokoh yang memperkenalkan istilah “masyarakat madani” menurut: Hidayat, (2008) adalah:”... di Indonesia menggambarkan masyarakat madani sebagai sistem sosial yang subur yang berazaskan moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat...”. Ia juga memberikan gambaran kondisi yang bertentangan dengan masyarakat, yaitu adanya kemelut yang diderita oleh umat manusia seperti meluasnya keganasan, sikap melampaui batas, kemiskinan, ketidak adilan, kebejatan sosial, kejahilan, kelesuan intelektual, dan kemunduran budaya yang merupakan manifestasi masyarakat yang kritis. Walaupun ide-ide pembangunan masyarakat bertolak dari konsep civil society, namun ide-ide itu juga terdapat dalam konsep  budaya tinggi melayu yang juga terdapat dalam sejarah Asia Tenggara di kalangan Melayu Indonesia.


Menurut Nurcholish Madjid (2000;80) dalam (Hidayat, 2008) bahwa:”...masyarakat madani merupakan masyarakat yang sopan, beradab, dan teratur dalam bentuk warga negara yang baik...”. Menurutnya masyarakat madani dalam semangat modern tidak lain dari civil society, karena kata “madani” menunjuk pada makna peradaban atau kebudayaan...”. Oleh karena ide-ide dasar masyarakat madani dan substansi civil society yang berkembang di dunia Eropa sama, maka Dawam Raharjo berpendapat bahwa substansi masyarakat madani dalam dunia Islam dan civil society di dunia Barat adalah satu. Teori civil society dapat dipinjam untuk menjelaskan istilah masyarakat madani yang digali dari khazanah sejarah. Senada dengan hal ini Nurcholish Madjid, tidak membedakan antara pemangunan masyarakat yang lahir dari khazanah sejarah dan peradaban dengan civil society yang lahir dari sejarah Eropa atau peradaban Barat. 


 


Demokratis


Masyarakat madani ditandai oleh berkembangnya iklim demokrasi berupa kebebasan berpendapat dan bertindak baik secara individual maupun kolektif yang bertanggung jawab, sehingga tercipta keseimbangan antara implementasi kebebasan individu dan kestabilan sosial, serta penyelengaraan pemerintahan secara demokratis.


Masyarakat yang demokratis inilah yang harus ditiru oleh generasi penerus kita. Apakah dalam menggarap ladang tidak pernah terjadi  saling tumpang tindih. Dan muncul pula budaya mereka yang saling menghormati sesama. Tidak pernah ada larangan untuk datang pada komunitas Dayak, walau mereka tidak pernah dikenal sebelumnya. Jika seseorang atau sekelompok masyarakat komunitas luar yang ikut serta dalam upaya bercocok tanam, berladang, berkebun selalu dipersilahkan. Selama tidak menyalahi tata aturan, tatanan budaya masyarakat setempat.


 


Penuh Toleran


Toleran merupakan sikap budaya yang dikembangkan dalam pembangunan masyarakat untuk menunjukan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain.


Toleransi muncul di kalangan masyarakat Dayak yang juga disebut dengan kearifan lokal di ”huma Betang” ini, seperti: perbedaan kepercayaan antara anak dengan orang tua, kakak dan adik atau terhadap mereka yang ada di sekitar. Budaya yang sudah turun temurun, yaitu jika sekelompok warga mau melaksanakan upacara ritual keagamaan. Bagi penganut agama/kepercayaan lain, dipersiapkan bahan berupa: beras, ayam, minyak goreng, garam dan lain-lain. Agar para penganut kepercayaan beda turut merasakan segala suka cita mereka dalam kebersamaan. Namun cara memasak dipersilahkan untuk dimasak oleh kelompok itu sendiri. Terlebih hal ini terhadap para tamu yang datang ke desa mereka.


Umumnya masyarakat Dayak penuh toleransi ini, terjadi pergeseran dalam 10-15 tahun terakhir. Pergeseran budaya ini dipengaruhi oleh kemajuan kota dan modernisasi. Sebagai contoh 20 tahun lebih ke masa lampau anak yang mau sekolah ke kota khususnya di Palangka Raya. Sulit mencari rumah kost, yang banyak adalah anak dititip pada keluarga yang tinggal di Palangka Raya. Apakah ia keluarga satu keturunan darah, ataukah hanya kenalan tetangga desa. Disini toleransi yang sangat tinggi. Karena anak yang ikut tinggal, di rumah tersebut tidak pernah membayar sewa. Karena saling toleransi se daerah, kecamatan atau kabupaten.


Toleransi di sini juga tidak memandang beda kepercayaan yang dianut oleh warga yang tinggal dalam satu rumah, dengan penuh tenggang rasa dan tolong menolong. Dan disinilah salah satu toleransi filosafi ”Huma Betang ” kita.


Rumah kost mulai berdiri karena banyaknya anak yang datang dari kota lain di luar provinsi Kalimantan Tengah, di saat mereka mau melanjutkan pendidikan terutama kuliah. Sehingga mereka pendatang usia muda dari luar ini, mau tidak mau harus mencari tempat tinggal antara 4 – 5 tahun ke depan. Akhirnya berdirilah rumah-rumah kost untuk kaum pendatang.


 


Pluralisme dan Multikulturalisme


Pluralisme menunjuk pada keragaman/kemajemukan yang ada di masyarakat, menurut: Blum, (2001: 19) dan  Ahimsa-Putra, (2009:2) yakni:”... kondisi dalam suatu masyarakat yang secara faktual berbeda-beda. Sementara itu multi kultralisme lebih mengacu pada sikap warga masyarakat terhadap perbedaan-perbedaan baik yang ada dalam kelompok masyarakat yang bersangkutan maupun  dalam masyarakat lain...”. Sikap itu, dibentuk dengan melibatkan seperangkat nilai yang didasarkan pada minat untuk mempelajari dan memahami (understanding) dan pada penghormatan (respect) serta penghargaaan (valuation) kepada kebudayaan masyarakat lain. Walaupun tidak selalu diikuti dengan kesetujuan dan kesepakatan terhadap apa yang ada dalam kebudayaan lain, tetapi yang ditekankan dalam multikulturalisme adalah pemahaman, penghormatan, dan penghargaan yang tinggi.


Selain hal di atas pruralisme menurut Norsanie Darlan (2004) adalah:”...di masyarakat Dayak sungguh memberikan kearifan yang sangat tinggi harganya. Karena sejak masa lampau, tidak pernah ada perselisihan yang berarti dalam kehidupan ”Huma Betang” walau sudah menelan waktu yang panjang. Kehidupan saling menghargai, saling menghormati dan saling tolong menolong yang tercipta sejak beberapa abad silam, membuat suatu cerminan budaya  yang sangat tinggi dan dihormati...”.


Perselisihan bisa terjadi karena dengan etnis lain dapat dilihat kejadian yang juga terjadi hal sama seperti: dengan masyarakat Dayak di Kalimantan Barat, Lampung dan di DKI pada etnis yang sama. Hal itu adalah sebuah peristiwa pada titik puncak sama dengan daerah lain, bahwa etnis yang pernah ada di Kalimantan Tengah ini, betul-betul tidak bisa hidup bersama dalam ”Huma Betang”. Karena mereka tidak punya filsafat: “...di mana bumi di injak, di situ langit di junjung....”. Sementara etnis lain tak ternah terjadi dalam hal yang sama, karena adanya saling pengertian.


 


Selain berfungsi sebagai rumah adat,  Huma Betang memiliki filosofi kehidupan yang sangat dalam dan mendasar bagi masyarakat Dayak. Filosofi Huma Betang diantaranya adalah :


 


1.      Hidup rukun dan damai walaupun terdapat banyak perbedaan.


Huma Betang dihuni oleh 1 keluarga besar yang terdiri dari berbagai agama dan kepercayaan, namun mereka selalu hidup rukun dan damai. Perbedaan yang ada tidak dijadikan alat pemecah diantara mereka.


Seiring dengan berkembangnya zaman , masyarakat Dayak sudah mulai meninggalkan rumah adatnya dan beralih kepada tempat tinggal yang lebih modern. Walaupun demikian keharmonisan tidak hanya terjadi di Huma Betang. Seluruh masyarakat Kalimantan Tengah  selalu menjaga keharmonisan itu dengan cara saling hormat menghormati dan juga sikap toleransi.



2.      Bergotong Royong.


Perbedaan yang ada tidak membuat penghuni Huma betang memikirkan kelompoknya sendiri. Mereka slalu bahu-membahu dalam melakukan sesuatu, misalnya apabila ada kerusakan di Huma Betang . mereka bersama-sama memperbaikinya , tidak memandang agama ataupun  suku. Tidak hanya di Huma Betang, Seluruh masyarakat Kalimantan Tengah diharapkan juga bahu-membahu dalam membangun daerahnya tidak memandang suku bahkan agama.


 


3.      Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan kekeluargaan.











 


Pada dasarnya setiap penghuni rumah menginginkan kedamaian dan kekeluargaan. Apabila ada perselisihan akan di cari pemecahnya dengan cara damai dan kekeluargaan. Begitu pula di Huma Betang , masyarakat Dayak cinta damai dan mempunyai rasa kekeluargaan yang tinggi.


Peristiwa kerusuhan Sampit tahun 2001 lalu adalah masa kelam provinsi ini , dalam kerusuhan ini terjadi antara masyarakat suku Dayak dan Masyarakat suku pendatang dari pulau Jawa yaitu suku Madura. Perselisihan yang ada sempat membuat provinsi ini tidak aman, perkelahian dimana-mana , termasuk peristiwa pembantaian. Perselisihan terjadi sangat alot, sampai saat perdamaianpun tiba. Demi kedamaian juga keamanan Kal-Teng mereka bersedia berdamai.


 


4.      Menghormati Leluhur.











Setelah masuknya agama-agama baru seperti Hindu, Kristen, dan Islam, banyak masyarakat Dayak berganti kepercayaan. Walaupun demikian masih ada sebagian dari mereka yang menganut agama nenek moyang yaitu Kaharingan. Untuk menghormati leluhur mereka , masyarakat suku Dayak melakukan upacara adat. Upacara adat tersebut terdiri dari ritual membongkar makam leluhur dan membersihkan tulang belulangnya untuk kemudian disimpan di dalam sanding yang telah dibuat bersama-sama.


 


 


 


 


 


Jadi kesimpulan dari filosofi Huma Betang masyarakat Suku Dayak adalah kebersamaan di dalam perbedaan (togetherness in diversity), artinya ada semangat persatuan, etos kerja dan toleran yang tinggi untuk mengelola secara bersama-sama perbedaan itu dan berkompetisi secara jujur, sehingga tidak akan menjadi jurang yang memisahka —sekaligus menghancurkan. Hendaknya semangat filosofi suku Dayak itulah yang patut kita warisi dan junjung tinggi. Untuk dan atas nama kebersamaan di kehidupan yang lebih luas—di dalam mengelola sebuah ‘huma betang’ yang lebih besar bernama Indonesia.


Beberapa Hal mengenai Etentitas  suku Dayak Kalimantan tengah


Dayak di Kalimantan Tengah cenderung heterogen. Hal ini tercermin dari daerah-daerah aliran sungai di mana mereka bermukim. Penamaan daerah-daerah aliran sungai tempat subsuku-subsuku tempat bermukin tersebut menunjukkan daerah pakai bahasa sebagai lambang identitasnya dan pola kebudayaan yang cenderung sama. Misalnya, menyebut sungai Katingan, berarti mayoritas penduduknya sebagai sub-subsuku Dayak Katingan yang menuturkan bahasa Katingan yang dikenal sebagai oloh Katingan, sebagai bagian dari subsuku Dayak Ngaju, juga menginduk kepada suku Dayak secara umum. Begitu pula manakala menyebut sungai Kahayan, dikenal sebagai oloh Kahayan, secara tidak langsung merujuk kepada daerah pakai penutur bahasa Kahayan yang secara de yure dikenal sebagai bahasa Dayak Ngaju, lingua franca subsuku Dayak di Kalimantan Tengah, dan seterusnya. Asumsi di atas setidaknya menyisakan beberapa tanya yang mungkin sebagian belum terjawab dan memang sangat dibutuhkan jawaban. Paling tidak, sebagian jawaban kebenarannya mungkin akan terkuak. Sebab selama ini belum dilakukan penggolongan etnisitas sub-subsuku Dayak di Kalimantan Tengah selain yang dilakukan oleh Malinkcrodt dan Riwut (lihat Riwut, 1993) yang telah menggolongkan suku Dayak di Kalimantan secara umum dari sisi antropologis.


Dari perspektif kebahasaan, Hudson menggolongkan suku Dayak di Kalimantan Tengah berdasarkan analisis bahasa penuturnya yang disebutnya sebagai Keluarga Bahasa Barito terkelompok dalam tujuh isolek, yakni isolek Barito Barat Daya, Barito Tenggara, Barito-Mahakam, Barito Barat Laut, Barito Timur Laut, Barito Timur Tengah, dan Melayu-Pantai (“The Barito Isolects of Borneo: A Classification Based on Comparative Reconstruction and Lexicostatistics”, 1967:11). Agak berbeda dari penelitian Hudson—yang selama kurun waktu empat dekade tidak tergoyahkan hasil temuannya, Pusat Bahasa melalui Tim Pemetaan dan Kekerabatan Bahasa-bahasa Daerah di Indonesia, menemukan setidaknya terdapat 22 bahasa dan 5 dialek yang ada di Kalimantan Tengah sejauh ini (Laporan Penelitian Tim Pemetaan dan Kekerabatan Bahasa-bahasa Daerah Kalteng, Balai Bahasa Kalimantan Tengah 2006). Dengan demikian, untuk sementara dapat diasumsikan bahwa setidaknya terdapat 7 sub-subsuku yang mendiami Kalimantan Tengah, antara lain: (1) Sub-suku Dayak Ngaju dengan mayoritas penguasaan daerah pakai bahasa di Kalimantan Tengah, (2) Sub-suku Dayak Maanyan, (3) Sub-suku Dayak Dusun, (4) Sub-suku Ot Danum, (5) Sub-suku Melayu, (6) Sub-suku Dayak Katingan, (7) serta Sub-suku Dayak Bakumpai. Asumsi klasifikasi etnisitas ini semata-mata ditinjau dari perspektif linguistik, jadi bukan merupakan penelitian antropologi yang komprehensif.


Berpijak dari realitas tersebut, maka tidak mudah untuk menentukan bahasa mana yang tepat untuk menyatukan sub-subsuku Dayak di Kalimantan Tengah. Semuanya tergantung dari politik bahasa (language policy) dari Pemerintah daerah setempat atas kesepakatan masyarakat penutur bahasa-bahasa yang ada. Namun demikian, semuanya justru tidak harus memposisikan eksistensi dan entitas Dayak menjadi abu-abu karena heterogenitas di dalam maupun di luar, di tengah pergaulan masyarakat Dayak dengan suku-suku lainnya di Kalimantan Tengah dan Indonesia. Identitas dan entitas Dayak seolah-olah larut dalam keruhnya heterogenitas masyarakat Kalimantan Tengah yang multietnik ini. Masih malu-malu dan cenderung sebagai identitas yang abu-abu. Lantas, jika hal ini terus dibiarkan maka tidak menutup kemungkinan para pewaris generasi tidak mustahil akan mengaburkan identitas itu: identitas Dayak yang berpandangan lurus ke depan dan mantap dengan jati diri kebudayaanya sebagai bagian yang tak kalah pentingnya dengan suku-suku dan kebudayaan lainnya di Indonesia (bdk. Kusni, 1994).


Kepercayaan diri dan kemantapan identitas sangat dibutuhkan untuk mengisi dan memperjuangkan pembangunan bagi sebuah bangsa yang besar: Indonesia. Bertalian dengan hal tersebut pula, persoalan bahasa sebagai penegas identitas dan jati diri hendaknya menjadi persoalan yang layak untuk dijadikan agenda dalam rangka rencana pelaksanaan Kongres Rakyat Kalimantan Tengah ke IV di Palangka Raya, Juni mendatang. Pemberian nama sebagai Kongres Rakyat Kalimantan Tengah pun agak taksa/ambigu—meskipun persoalan nama menjadi hal yang tidak terlalu penting. Mengapa? Pertama, rakyat yang mana? Apakah maksudnya seluruh perwakilan masyarakat yang mendiami Kalimantan Tengah, dari suku/bangsa apapun atau maksudnya rakyat Dayak yang mendiami Kalimantan Tengah yang berkongres seperti halnya “Kongres Rakyat Papua”. Mengapa tidak “Kongres Rakyat Dayak Kalimantan Tengah” atau “Pumpung Hai Ungkup Dayak Kalimantan Tengah”, seperti halnya Aruh Ganal Bubuhan Banjar di Kalimantan Selatan yang sangat bangga dengan bahasa daerahnya? Kedua, dengan tidak mengurangi rasa hormat saya kepada penyelenggara--inikah wujud dari kekaburan (absurditas) atas heterogenitas Dayak yang masih malu-malu dan abu-abu sebagai Dayak itu? Ah, mungkin ‘bungkusnya’ tidak terlalu penting,yang penting ‘isinya’. Apapun namanya, hal kecil yang selama ini kita anggap remeh dan sepele kadang berpengaruh terhadap hal yang lebih besar, termasuk persoalan pemakaian bahasa daerah yang menjadi simbol identitas dan kebanggaan daerah.



Referensi : 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar