Huma Betang Dan Identitas Suku Dayak
Kalteng
Oleh : Herman Pelangi

Huma Betang adalah rumah adat masyarakat Kalimantan
Tengah. Rumah yang dibangun dengan cara gotong royong ini berukuran besar
dan panjang mencapai 30 – 150 meter , lebarnya antara 10-30 meter , bertiang
tinggi antara 3-4 meter dari tanah. Penghuni Huma Betang bisa mencapai seratus bahkan dua
ratus jiwa yang merupakan
satu keluarga besar dan dipimpin oleh seorang Bakas lewu atau Kepala Suku. Huma Betang dibuat tinggi dengan maksud untuk
menghindari dari banjir, serangan musuh, dan juga binatang buas. Lantai dan
dindingnya terbuat dari kayu , sedangkan dibagian atap terbuat dari sirap. Kayu
yang dipilih untuk membangun Huma Betang ini ialah kayu ulin selain ati rayap ,
kayu ulin mampu bertahan hingga ratusan tahun. "Huma Betang" adalah dalam bahasa Indonesia
disebut "rumah yang Besar". rumah ini di tempati secara turun
temurun, dipelihara dan tercipta iklim yang sejuk dalam kehidupan keluarga
besar masyarakat Dayak yang hidup di Kalimantan Tengah.
"Huma Betang"
saat ini, tidak lain adalah wilayah daerah kalimantan Tengah yang bisa hidup
apakah penduduk asli ataupun pendatang. dengan kerukunan yang kuat dan
kekeluargaan.
Karakteristik
Bertolak
dari beberapa pengertian masyarakat madani yang telah disampaikan di atas, maka
karakteristik yang menonjol pada masyarakat madani menurut: Iyane Bone (2012)
adalah:”...masyarakat madani merupakan istilah yang dipakai untuk
mengkonseptualisasikan sebuah masyarakat ideal yang dicita-citakan. Istilah itu
diterjemahkan dari bahasa Arab “Mujtama’ madani” yang diperkenalkan kali
pertama oleh Naquib al-Attas, guru besar sejarah dan peradaban yang juga
filosof kontemporer dari Malaysia tentang Masyarakat Madani…”.
Tokoh
yang memperkenalkan istilah “masyarakat madani” menurut: Hidayat, (2008)
adalah:”... di Indonesia menggambarkan masyarakat madani sebagai sistem sosial
yang subur yang berazaskan moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan
perorangan dengan kestabilan masyarakat...”. Ia juga memberikan gambaran
kondisi yang bertentangan dengan masyarakat, yaitu adanya kemelut yang diderita
oleh umat manusia seperti meluasnya keganasan, sikap melampaui batas,
kemiskinan, ketidak adilan, kebejatan sosial, kejahilan, kelesuan intelektual,
dan kemunduran budaya yang merupakan manifestasi masyarakat yang kritis.
Walaupun ide-ide pembangunan masyarakat bertolak dari konsep civil society,
namun ide-ide itu juga terdapat dalam konsep budaya tinggi melayu yang
juga terdapat dalam sejarah Asia Tenggara di kalangan Melayu Indonesia.
Menurut
Nurcholish Madjid (2000;80) dalam (Hidayat, 2008) bahwa:”...masyarakat madani
merupakan masyarakat yang sopan, beradab, dan teratur dalam bentuk warga negara
yang baik...”. Menurutnya masyarakat madani dalam semangat modern tidak lain
dari civil society, karena kata “madani” menunjuk pada makna peradaban
atau kebudayaan...”. Oleh karena ide-ide dasar masyarakat madani dan substansi civil
society yang berkembang di dunia Eropa sama, maka Dawam Raharjo berpendapat
bahwa substansi masyarakat madani dalam dunia Islam dan civil society di
dunia Barat adalah satu. Teori civil society dapat dipinjam untuk
menjelaskan istilah masyarakat madani yang digali dari khazanah sejarah.
Senada dengan hal ini Nurcholish Madjid, tidak membedakan antara pemangunan
masyarakat yang lahir dari khazanah sejarah dan peradaban dengan civil
society yang lahir dari sejarah Eropa atau peradaban Barat.
Demokratis
Masyarakat
madani ditandai oleh berkembangnya iklim demokrasi berupa kebebasan berpendapat
dan bertindak baik secara individual maupun kolektif yang bertanggung jawab,
sehingga tercipta keseimbangan antara implementasi kebebasan individu dan
kestabilan sosial, serta penyelengaraan pemerintahan secara demokratis.
Masyarakat
yang demokratis inilah yang harus ditiru oleh generasi penerus kita. Apakah
dalam menggarap ladang tidak pernah terjadi saling tumpang tindih. Dan
muncul pula budaya mereka yang saling menghormati sesama. Tidak pernah ada
larangan untuk datang pada komunitas Dayak, walau mereka tidak pernah dikenal
sebelumnya. Jika seseorang atau sekelompok masyarakat komunitas luar yang ikut
serta dalam upaya bercocok tanam, berladang, berkebun selalu dipersilahkan.
Selama tidak menyalahi tata aturan, tatanan budaya masyarakat setempat.
Penuh
Toleran
Toleran
merupakan sikap budaya yang dikembangkan dalam pembangunan masyarakat untuk
menunjukan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan
oleh orang lain.
Toleransi
muncul di kalangan masyarakat Dayak yang juga disebut dengan kearifan lokal di
”huma Betang” ini, seperti: perbedaan kepercayaan antara anak dengan orang tua,
kakak dan adik atau terhadap mereka yang ada di sekitar. Budaya yang sudah
turun temurun, yaitu jika sekelompok warga mau melaksanakan upacara ritual
keagamaan. Bagi penganut agama/kepercayaan lain, dipersiapkan bahan berupa:
beras, ayam, minyak goreng, garam dan lain-lain. Agar para penganut kepercayaan
beda turut merasakan segala suka cita mereka dalam kebersamaan. Namun cara
memasak dipersilahkan untuk dimasak oleh kelompok itu sendiri. Terlebih hal ini
terhadap para tamu yang datang ke desa mereka.
Umumnya
masyarakat Dayak penuh toleransi ini, terjadi pergeseran dalam 10-15 tahun
terakhir. Pergeseran budaya ini dipengaruhi oleh kemajuan kota dan modernisasi.
Sebagai contoh 20 tahun lebih ke masa lampau anak yang mau sekolah ke kota
khususnya di Palangka Raya. Sulit mencari rumah kost, yang banyak adalah anak
dititip pada keluarga yang tinggal di Palangka Raya. Apakah ia keluarga satu
keturunan darah, ataukah hanya kenalan tetangga desa. Disini toleransi yang
sangat tinggi. Karena anak yang ikut tinggal, di rumah tersebut tidak pernah
membayar sewa. Karena saling toleransi se daerah, kecamatan atau kabupaten.
Toleransi
di sini juga tidak memandang beda kepercayaan yang dianut oleh warga yang
tinggal dalam satu rumah, dengan penuh tenggang rasa dan tolong menolong. Dan
disinilah salah satu toleransi filosafi ”Huma Betang ” kita.
Rumah
kost mulai berdiri karena banyaknya anak yang datang dari kota lain di luar
provinsi Kalimantan Tengah, di saat mereka mau melanjutkan pendidikan terutama
kuliah. Sehingga mereka pendatang usia muda dari luar ini, mau tidak mau harus
mencari tempat tinggal antara 4 – 5 tahun ke depan. Akhirnya berdirilah
rumah-rumah kost untuk kaum pendatang.
Pluralisme dan
Multikulturalisme
Pluralisme
menunjuk pada keragaman/kemajemukan yang ada di masyarakat, menurut: Blum,
(2001: 19) dan Ahimsa-Putra, (2009:2) yakni:”... kondisi dalam suatu
masyarakat yang secara faktual berbeda-beda. Sementara itu multi kultralisme
lebih mengacu pada sikap warga masyarakat terhadap perbedaan-perbedaan baik
yang ada dalam kelompok masyarakat yang bersangkutan maupun dalam
masyarakat lain...”. Sikap itu, dibentuk dengan melibatkan seperangkat
nilai yang didasarkan pada minat untuk mempelajari dan memahami (understanding)
dan pada penghormatan (respect) serta penghargaaan (valuation)
kepada kebudayaan masyarakat lain. Walaupun tidak selalu diikuti dengan
kesetujuan dan kesepakatan terhadap apa yang ada dalam kebudayaan lain, tetapi
yang ditekankan dalam multikulturalisme adalah pemahaman, penghormatan, dan
penghargaan yang tinggi.
Selain
hal di atas pruralisme menurut Norsanie Darlan (2004) adalah:”...di masyarakat
Dayak sungguh memberikan kearifan yang sangat tinggi harganya. Karena sejak
masa lampau, tidak pernah ada perselisihan yang berarti dalam kehidupan ”Huma
Betang” walau sudah menelan waktu yang panjang. Kehidupan saling menghargai,
saling menghormati dan saling tolong menolong yang tercipta sejak beberapa abad
silam, membuat suatu cerminan budaya yang sangat tinggi dan
dihormati...”.
Perselisihan
bisa terjadi karena dengan etnis lain dapat dilihat kejadian yang juga terjadi
hal sama seperti: dengan masyarakat Dayak di Kalimantan Barat, Lampung dan di
DKI pada etnis yang sama. Hal itu adalah sebuah peristiwa pada titik puncak
sama dengan daerah lain, bahwa etnis yang pernah ada di Kalimantan Tengah ini,
betul-betul tidak bisa hidup bersama dalam ”Huma Betang”. Karena mereka tidak punya filsafat: “...di mana bumi di injak, di situ
langit di junjung....”. Sementara
etnis lain tak ternah terjadi dalam hal yang sama, karena adanya saling
pengertian.
Selain berfungsi sebagai rumah adat,
Huma Betang memiliki filosofi kehidupan yang sangat dalam dan mendasar
bagi masyarakat Dayak. Filosofi Huma Betang diantaranya adalah :
1. Hidup rukun dan damai walaupun terdapat banyak
perbedaan.
Huma Betang dihuni oleh
1 keluarga besar yang terdiri dari berbagai agama dan kepercayaan, namun mereka
selalu hidup rukun dan damai. Perbedaan yang ada tidak dijadikan alat pemecah
diantara mereka.
Seiring dengan
berkembangnya zaman , masyarakat Dayak sudah mulai meninggalkan rumah adatnya
dan beralih kepada tempat tinggal yang lebih modern. Walaupun demikian
keharmonisan tidak hanya terjadi di Huma Betang. Seluruh masyarakat Kalimantan
Tengah selalu menjaga keharmonisan itu dengan cara saling hormat
menghormati dan juga sikap toleransi.
2. Bergotong Royong.
Perbedaan yang ada
tidak membuat penghuni Huma betang memikirkan kelompoknya sendiri. Mereka slalu
bahu-membahu dalam melakukan sesuatu, misalnya apabila ada kerusakan di Huma
Betang . mereka bersama-sama memperbaikinya , tidak memandang agama ataupun
suku. Tidak hanya di Huma Betang, Seluruh masyarakat Kalimantan Tengah
diharapkan juga bahu-membahu dalam membangun daerahnya tidak memandang suku
bahkan agama.
3. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan
kekeluargaan.
Pada dasarnya setiap penghuni rumah menginginkan
kedamaian dan kekeluargaan. Apabila ada perselisihan akan di cari pemecahnya
dengan cara damai dan kekeluargaan. Begitu pula di Huma Betang , masyarakat
Dayak cinta damai dan mempunyai rasa kekeluargaan yang tinggi.
Peristiwa kerusuhan Sampit tahun 2001
lalu adalah masa kelam provinsi ini , dalam kerusuhan ini terjadi antara
masyarakat suku Dayak dan Masyarakat suku pendatang dari pulau Jawa yaitu suku
Madura. Perselisihan yang ada sempat membuat provinsi ini tidak aman,
perkelahian dimana-mana , termasuk peristiwa pembantaian. Perselisihan terjadi
sangat alot, sampai saat perdamaianpun tiba. Demi kedamaian juga keamanan
Kal-Teng mereka bersedia berdamai.
4. Menghormati Leluhur.
Setelah masuknya agama-agama baru
seperti Hindu, Kristen, dan Islam, banyak masyarakat Dayak berganti
kepercayaan. Walaupun demikian masih ada sebagian dari mereka yang menganut
agama nenek moyang yaitu Kaharingan. Untuk menghormati leluhur mereka ,
masyarakat suku Dayak melakukan upacara adat. Upacara adat tersebut terdiri
dari ritual membongkar makam leluhur dan membersihkan tulang belulangnya untuk
kemudian disimpan di dalam sanding yang telah dibuat bersama-sama.
Jadi kesimpulan dari filosofi Huma Betang masyarakat Suku Dayak adalah kebersamaan di dalam perbedaan (togetherness
in diversity), artinya ada semangat persatuan, etos kerja dan toleran yang
tinggi untuk mengelola secara bersama-sama perbedaan itu dan berkompetisi
secara jujur, sehingga tidak akan menjadi jurang yang memisahka —sekaligus
menghancurkan. Hendaknya semangat filosofi suku Dayak itulah yang patut kita
warisi dan junjung tinggi. Untuk dan atas nama kebersamaan di kehidupan yang
lebih luas—di dalam mengelola sebuah ‘huma betang’ yang lebih besar bernama
Indonesia.
Beberapa Hal mengenai Etentitas suku Dayak Kalimantan tengah
Dayak
di Kalimantan Tengah cenderung heterogen. Hal ini tercermin dari daerah-daerah
aliran sungai di mana mereka bermukim. Penamaan daerah-daerah aliran sungai
tempat subsuku-subsuku tempat bermukin tersebut menunjukkan daerah pakai bahasa
sebagai lambang identitasnya dan pola kebudayaan yang cenderung sama. Misalnya,
menyebut sungai Katingan, berarti mayoritas penduduknya sebagai sub-subsuku
Dayak Katingan yang menuturkan bahasa Katingan yang dikenal sebagai oloh
Katingan, sebagai bagian dari subsuku Dayak Ngaju, juga menginduk kepada suku
Dayak secara umum. Begitu pula manakala menyebut sungai Kahayan, dikenal
sebagai oloh Kahayan, secara tidak langsung merujuk kepada daerah pakai penutur
bahasa Kahayan yang secara de yure dikenal sebagai bahasa Dayak Ngaju, lingua
franca subsuku Dayak di Kalimantan Tengah, dan seterusnya. Asumsi di atas
setidaknya menyisakan beberapa tanya yang mungkin sebagian belum terjawab dan
memang sangat dibutuhkan jawaban. Paling tidak, sebagian jawaban kebenarannya
mungkin akan terkuak. Sebab selama ini belum dilakukan penggolongan etnisitas
sub-subsuku Dayak di Kalimantan Tengah selain yang dilakukan oleh Malinkcrodt
dan Riwut (lihat Riwut, 1993) yang telah menggolongkan suku Dayak di Kalimantan
secara umum dari sisi antropologis.
Dari
perspektif kebahasaan, Hudson menggolongkan suku Dayak di Kalimantan Tengah
berdasarkan analisis bahasa penuturnya yang disebutnya sebagai Keluarga Bahasa
Barito terkelompok dalam tujuh isolek, yakni isolek Barito Barat Daya, Barito
Tenggara, Barito-Mahakam, Barito Barat Laut, Barito Timur Laut, Barito Timur
Tengah, dan Melayu-Pantai (“The Barito Isolects of Borneo: A Classification
Based on Comparative Reconstruction and Lexicostatistics”, 1967:11). Agak
berbeda dari penelitian Hudson—yang selama kurun waktu empat dekade tidak
tergoyahkan hasil temuannya, Pusat Bahasa melalui Tim Pemetaan dan Kekerabatan
Bahasa-bahasa Daerah di Indonesia, menemukan setidaknya terdapat 22 bahasa dan
5 dialek yang ada di Kalimantan Tengah sejauh ini (Laporan Penelitian Tim
Pemetaan dan Kekerabatan Bahasa-bahasa Daerah Kalteng, Balai Bahasa Kalimantan
Tengah 2006). Dengan demikian, untuk sementara dapat diasumsikan bahwa
setidaknya terdapat 7 sub-subsuku yang mendiami Kalimantan Tengah, antara lain:
(1) Sub-suku Dayak Ngaju dengan mayoritas penguasaan daerah pakai bahasa di
Kalimantan Tengah, (2) Sub-suku Dayak Maanyan, (3) Sub-suku Dayak Dusun, (4)
Sub-suku Ot Danum, (5) Sub-suku Melayu, (6) Sub-suku Dayak Katingan, (7) serta
Sub-suku Dayak Bakumpai. Asumsi klasifikasi etnisitas ini semata-mata ditinjau
dari perspektif linguistik, jadi bukan merupakan penelitian antropologi yang
komprehensif.
Berpijak
dari realitas tersebut, maka tidak mudah untuk menentukan bahasa mana yang
tepat untuk menyatukan sub-subsuku Dayak di Kalimantan Tengah. Semuanya
tergantung dari politik bahasa (language policy) dari Pemerintah daerah
setempat atas kesepakatan masyarakat penutur bahasa-bahasa yang ada. Namun
demikian, semuanya justru tidak harus memposisikan eksistensi dan entitas Dayak
menjadi abu-abu karena heterogenitas di dalam maupun di luar, di tengah
pergaulan masyarakat Dayak dengan suku-suku lainnya di Kalimantan Tengah dan
Indonesia. Identitas dan entitas Dayak seolah-olah larut dalam keruhnya
heterogenitas masyarakat Kalimantan Tengah yang multietnik ini. Masih malu-malu
dan cenderung sebagai identitas yang abu-abu. Lantas, jika hal ini terus
dibiarkan maka tidak menutup kemungkinan para pewaris generasi tidak mustahil
akan mengaburkan identitas itu: identitas Dayak yang berpandangan lurus ke
depan dan mantap dengan jati diri kebudayaanya sebagai bagian yang tak kalah
pentingnya dengan suku-suku dan kebudayaan lainnya di Indonesia (bdk. Kusni,
1994).
Kepercayaan
diri dan kemantapan identitas sangat dibutuhkan untuk mengisi dan
memperjuangkan pembangunan bagi sebuah bangsa yang besar: Indonesia. Bertalian
dengan hal tersebut pula, persoalan bahasa sebagai penegas identitas dan jati
diri hendaknya menjadi persoalan yang layak untuk dijadikan agenda dalam rangka
rencana pelaksanaan Kongres Rakyat Kalimantan Tengah ke IV di Palangka Raya,
Juni mendatang. Pemberian nama sebagai Kongres Rakyat Kalimantan Tengah pun
agak taksa/ambigu—meskipun persoalan nama menjadi hal yang tidak terlalu
penting. Mengapa? Pertama, rakyat yang mana? Apakah maksudnya seluruh
perwakilan masyarakat yang mendiami Kalimantan Tengah, dari suku/bangsa apapun
atau maksudnya rakyat Dayak yang mendiami Kalimantan Tengah yang berkongres
seperti halnya “Kongres Rakyat Papua”. Mengapa tidak “Kongres Rakyat Dayak
Kalimantan Tengah” atau “Pumpung Hai Ungkup Dayak Kalimantan Tengah”, seperti
halnya Aruh Ganal Bubuhan Banjar di Kalimantan Selatan yang sangat bangga
dengan bahasa daerahnya? Kedua, dengan tidak mengurangi rasa hormat saya kepada
penyelenggara--inikah wujud dari kekaburan (absurditas) atas heterogenitas
Dayak yang masih malu-malu dan abu-abu sebagai Dayak itu? Ah, mungkin
‘bungkusnya’ tidak terlalu penting,yang penting ‘isinya’. Apapun namanya, hal
kecil yang selama ini kita anggap remeh dan sepele kadang berpengaruh terhadap
hal yang lebih besar, termasuk persoalan pemakaian bahasa daerah yang menjadi
simbol identitas dan kebanggaan daerah.
Referensi :
- Riwut, Nila. Maneser Panatau Tatu Hiang(Menyelami Kekayaan Leluhur). Palangka Raya: Pustaka lima .2003
- id.wikipedia.org
- bimbingan.org
- folksofdayak.wordpress
- nyahudayak.blogspot.com
- http://norsanie.blogspot.com/2012/08/filosofi-rumah-betang.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar